
Adiarsa, 29 Juli 2025. Dalam beberapa bulan terakhir, distribusi bantuan beras dari pemerintah melalui Bulog menjadi pemandangan umum di berbagai desa. Karung-karung beras 10 kg dibawa pulang dengan rasa syukur oleh banyak warga. Namun, di sisi lain, tak sedikit yang hanya bisa menatap dari balik jendela dan bertanya-tanya, “Kenapa saya tidak dapat?”
Fenomena ini bukan sekadar urusan logistik atau data. Ia menyentuh urat nadi masyarakat desa: keadilan, kebersamaan, dan harga diri.
Ketika Rasa Adil Menjadi Abu-Abu
Psikologi sosial menjelaskan bahwa manusia memiliki sensitivitas tinggi terhadap keadilan distribusi. Dalam teori distributive justice, seseorang menilai suatu bantuan sebagai adil atau tidak berdasarkan seberapa sebanding usahanya dengan yang diterima. Di desa, semua dianggap “sama-sama susah”, maka ketika ada tetangga menerima bantuan dan yang lain tidak, muncullah luka. Luka itu bukan semata karena tidak mendapat beras, tapi karena merasa tidak dianggap layak oleh negara.
“Bantuan datang membawa senyum bagi sebagian, tetapi meninggalkan luka bagi yang lain, rasa keadilan menjadi kabur ketika tetangga yang sama-sama hidup pas-pasan tidak menerima hal yang sama.”
Ekonomi Perilaku: Ekspektasi dan Rasa Iri yang Manusiawi
Daniel Kahneman, dalam ekonomi perilaku, menyebut konsep reference-dependent utility. Manusia tidak menilai apa yang mereka miliki secara absolut, tetapi membandingkannya dengan apa yang dimiliki orang lain. Maka ketika satu orang mendapat bantuan, yang lain otomatis merasa kekurangan meskipun sebelumnya baik-baik saja.
Rasa iri pun bukan tanda keburukan hati, tapi reaksi psikologis yang wajar dalam masyarakat yang hidup berdampingan.
Di Tengah Desa, Ikatan Sosial Bisa Renggang
Sosiologi pedesaan melihat bahwa desa bukan hanya wilayah geografis, tapi ruang sosial yang kuat akan nilai gotong royong. Bantuan yang timpang dapat mengganggu kohesi sosial. Yang mendapat merasa harus diam, yang tidak mendapat menjadi curiga. Ucapan “kita ini tetangga, kenapa dibedakan?” mulai terdengar. Hubungan retak perlahan, bukan karena niat jahat, tapi karena luka yang diam-diam tumbuh.
Masalah Bukan Selalu di Data, Tapi di Proses
Pemerintah telah memperbaiki data melalui DTSEN untuk menggantikan DTKS. Namun, tantangan tetap besar:
- Tidak semua yang miskin terdaftar.
- Tidak semua pemerintah desa berani mengusulkan pembaruan karena takut memicu kecemburuan.
- Kriteria bantuan tidak mudah dipahami masyarakat awam.
Di sinilah kebijakan publik perlu pendekatan yang lebih manusiawi, bukan hanya teknokratis. Validasi data sosial seharusnya lebih partisipatif, terbuka, dan kontekstual karena kemiskinan tidak selalu kasat mata.
Desa Adiarsa Resmi Membuka Pos Bantuan Hukum di Balai Desa : Sebagai Wujud Komitmen Desa Sadar Hukum
Penutup: Menuju Bantuan yang Menyatukan, Bukan Memisahkan
Bantuan adalah niat baik negara. Tetapi di balik karung-karung beras yang dibawa pulang, ada pelajaran penting: bahwa kesejahteraan tidak bisa hanya diukur dari luasan tanah atau tampilan rumah, tapi dari realitas hidup sehari-hari. Di desa, kesejahteraan tidak selalu tampak, tetapi selalu dirasa.
Bantuan memang tak pernah netral, ia bisa membawa senyum ke satu rumah, tapi juga meninggalkan sunyi di rumah yang lain. Namun, nilai kemanusiaan kita diuji bukan saat menerima, melainkan saat melihat orang lain menerima: apakah kita ikut bersyukur, atau justru merasa tersingkir?
Bantuan mungkin tak pernah netral, namun kepedulian bisa. Di luar daftar dan kuota, kebaikan masih bisa mengalir dari tangan ke tangan, dari hati ke hati
Bagi yang mendapat, terimalah dengan rasa syukur, bukan merasa lebih berhak. Bagi yang belum mendapat, semoga ini bukan penghakiman atas nasib, tapi kesempatan untuk tetap tabah dan tidak putus harap. Karena dalam kehidupan sosial yang ideal, bantuan bukanlah tujuan akhir, tapi jembatan sementara menuju kemandirian bersama
Ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya data yang akurat, tetapi pendekatan yang adil, manusiawi, dan melibatkan mereka yang paling tahu keadaan sesungguhnya: masyarakat itu sendiri