
Bulan Juli belum sepenuhnya kering, masih terlihat jelas sisa-sisa hujan membasahi tanah. Dalam kalender tahunan, Juli adalah awal musim kemarau — masa peralihan dari basah menuju kering. Dalam dunia pendidikan, bulan Juli menjadi permulaan tahun ajaran baru, saat siswa kembali ke sekolah dengan semangat dan harapan baru. Sementara di belahan dunia lain yaitu Benua Eropa, Juli adalah awal musim kompetisi sepak bola, ketika tim-tim memulai perjuangan panjang untuk satu musim penuh.
Bagi Pemerintah Desa Adiarsa, bulan Juli bukan sekadar pertengahan tahun — inilah saatnya merancang kegiatan untuk tahun depan. Kegiatan yang akan dijalankan di tahun 2026 mulai dirancang dari sekarang. Terlalu dini? Mungkin terdengar demikian. Tapi begitulah cara perencanaan bekerja: ia menuntut pandangan jauh, sebelum kaki melangkah.
RKPDes — Rencana Kerja Pemerintah Desa — memang sering dianggap sekadar rutinitas tahunan. Sebuah tumpukan dokumen yang hadir bersama agenda musyawarah dan seremonial formalitas. Tapi justru di situlah kesempatan tersembunyi. Jika hanya dianggap kewajiban administratif, ia tak akan berarti. Namun jika digarap dengan sungguh-sungguh, RKPDes bisa membuka mata kita pada hal-hal yang belum terpikirkan — mulai dari kebutuhan masyarakat yang terpendam, potensi desa yang belum digali, hingga program yang berdampak jangka panjang.
RKPDes akan terus terlihat seperti dokumen biasa jika desa belum matang dalam manajemen. Tapi desa yang matang akan menjadikannya alat kontrol antara keinginan dan kebutuhan. Desa bukan sekadar menjalankan “apa yang ada”, tetapi juga berani menolak yang tidak perlu dan mengutamakan hal-hal yang berdampak.
Yang menarik tahun ini, adalah perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi delapan. Maka dua tahun ke depan bukan lagi bagian dari RPJMDes yang lalu. Ini bukan sekadar perpanjangan waktu — tapi peluang segar. Pertanyaannya: apakah "tambahan waktu" ini akan dipakai untuk menambal kekurangan masa lalu, atau justru menciptakan terobosan baru?
Dua tahun tersisa bukan sekadar angka. Dalam konteks desa, dua tahun bisa berarti dua musim panen padi, dua musim kemarau, dua siklus bantuan pemerintah, dan puluhan keputusan penting. Jika dimanfaatkan dengan maksimal, sisa kepemimpinan ini bisa menjadi warisan pembangunan yang kuat. Tapi jika diabaikan, ia akan lewat begitu saja — sebagai “masa menunggu Pilkades berikutnya.”
Penutup periode ini mungkin terasa singkat, tapi cukup untuk membuktikan bahwa waktu adalah aset— dan aset terbaik desa adalah perencanaan yang jujur, inklusif, dan keberanian menghadapi perubahan.
Waktu tak pernah cukup untuk semua hal, tapi selalu cukup untuk hal-hal yang dianggap penting. Mungkin ini saatnya kita menganggap penting juga suara-suara yang selama ini hanya menjadi pendengar dalam pembangunan. Warga bukan hanya penerima manfaat, tapi sumber gagasan.
Pada akhirnya rencana bukan hanya soal anggaran dan program. Ia mencerminkan cara kita memandang masa depan — apakah kita bersiap menjemputnya, atau hanya menunggu tanpa arah dan persiapan. Maka mari kita beri makna baru pada bulan Juli. Bulan ini bukan hanya pertengahan tahun — tapi awal dari masa depan desa.
“Seperti yang sering dikatakan oleh Hikmah Wicaksono — bendahara Desa Adiarsa — ‘Gagal dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan.’”