
Sebagai seorang yang bekerja sebagai Kaur TU dan Umum, saya adalah orang yang (seharusnya) mengurus aset desa — termasuk hal kecil seperti... pulpen. Tapi entah sudah berapa kali saya kehabisan pulpen. Bukan karena tintanya habis, tapi karena dipinjam dan jarang kembali.
Anehnya, saya belum pernah menemukan pulpen yang benar-benar habis tintanya. Seolah-olah tak ada satu pun dari mereka yang hidup sampai akhir masa tugasnya. Ia menghilang lebih cepat dari seharusnya — lupa dikembalikan, tertinggal di meja rapat, atau lenyap di antara tumpukan dokumen yang belum sempat disusun.
Pernah ada yang menyarankan agar saya mengikat pulpen seperti teller bank — pakai tali agar tidak bisa dibawa ke mana-mana. Tapi saya ragu. Harga pulpennya hanya dua ribu rupiah. Apakah pantas saya mengikatnya? Atau sebenarnya saya terlalu percaya pada orang? Atau jangan-jangan... manajemen saya memang buruk?
Bukankah saya mengurusi aset desa yang nilainya jauh lebih besar? Jika menjaga satu pulpen saja sudah sulit, bagaimana saya bisa memastikan semua aset desa terkelola dengan baik?
Wahai pulpen, kamu benda kecil yang menyimpan kegelisahan. Ringan, murah, kadang terabaikan. Tapi kamu hadir di ujung banyak hal besar. Kamu yang mengesahkan dokumen, memberi tanda pada keputusan, dan membubuhkan nama dalam sejarah kecil sebuah desa.
Mungkin kehilanganmu terasa mengganggu bukan karena nilaimu, tapi karena kamu simbol dari hal-hal yang sering kita abaikan. Ketertiban. Kepedulian. Dan rasa tanggung jawab bersama. Kehilanganmu seperti mengingatkan bahwa hal kecil bisa bermakna besar — kalau saja kita mau melihatnya lebih dalam.
Pulpen bukan hanya alat tulis. Ia adalah perpanjangan tangan dari pikiran. Saya pernah membaca bahwa menulis dengan tangan membuat otak kita bekerja lebih aktif. Dibanding mengetik, menulis tangan melatih kita untuk merangkum ide, menyusun logika, dan menyerap informasi lebih dalam. Otak tidak hanya merekam, tapi mengolah.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa menulis tangan mengaktifkan area otak yang berkaitan dengan emosi, kreativitas, dan memori jangka panjang. Tinta yang mengalir itu membawa lebih dari kata-kata — ia membawa rasa, makna, dan jejak.
Dan mungkin karena itulah, pulpen terasa lebih personal. Ia bukan hanya alat, tapi teman berpikir. Setiap goresannya adalah hasil dari tarik ulur antara logika dan perasaan. Menulis membuat kita tidak sekadar mengekspresikan pikiran, tapi juga menyelami dan memahaminya.
Di kantor desa, dokumen disusun dengan komputer. Laporan diketik, format diperiksa, lalu... dicetak. Dan pada akhirnya, seseorang mengambil pulpen untuk menandatangani. Di situlah pulpen hadir — sebagai simbol pengesahan. Tapi ironisnya, ia tidak hadir dalam proses perencanaan, diskusi, atau penulisan konsep.
Saya sering membayangkan: bagaimana jika konsep itu juga ditulis dengan pulpen? Mungkin akan lebih terasa. Mungkin akan lebih dipikirkan. Mungkin... tidak ada lagi program yang sekadar copy-paste dari tahun sebelumnya.
Pulpen yang benar-benar menyelesaikan tugasnya bukan yang mahal atau disimpan rapi di laci. Tapi yang digunakan dari awal — mencoret ide, menulis rencana, mencatat kebutuhan warga, dan akhirnya membubuhkan tanda tangan pada sesuatu yang ia bantu lahirkan.
Dan sejauh ini, saya belum pernah melihat pulpen seperti itu. Belum pernah menemukannya habis karena menulis terlalu banyak.
Tapi saya menanti hari itu. Saat sebuah pulpen benar-benar digunakan hingga titik tintanya yang terakhir. Bukan karena hilang, tapi karena berkontribusi sejak awal hingga akhir.