
Setiap 21 April, kita mengenang Kartini. Tapi pernahkah kita menoleh kepada orang yang pertama kali membuka jendela pemikiran Kartini tentang dunia luar? Seorang lelaki Jawa yang tak hanya cerdas dan bijak, tapi juga mendahului zamannya: Raden Mas Panji Sosrokartono, sang kakak.
Sosrokartono bukan tokoh sembarangan. Ia adalah lulusan Universitas Leiden di Belanda, menguasai lebih dari 20 bahasa asing, pernah menjadi jurnalis perang, bahkan penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Namun jauh sebelum itu, di rumahnya di Jepara, ia adalah seorang kakak yang membawa buku-buku dari Eropa, mengajak adiknya berpikir kritis, dan membagikan semangat pembebasan batin melalui diskusi-diskusi malam hari.
Kartini muda tidak hanya haus akan ilmu, ia juga beruntung memiliki kakak yang menjadi jendela dunia. Dalam surat-suratnya, Kartini sering menyebut pemikiran-pemikiran yang dipantik dari buku-buku Eropa dan filsafat Timur, yang sebagian besar diperkenalkan oleh Sosrokartono. Gagasan tentang kebebasan berpikir, hak perempuan belajar, dan keadilan sosial tak datang tiba-tiba—ia tumbuh di dalam ruang keluarga, melalui pengaruh sang kakak.
Berbeda dari banyak keluarga priyayi saat itu, keluarga Sosroningrat punya pola asuh yang lebih terbuka. Sosrokartono menjadi simbol bahwa emansipasi bukan hanya urusan perempuan, tapi juga pria yang sadar zaman. Ia bukan hanya kakak biologis, tapi juga kawan berpikir bagi Kartini. Emansipasi, dalam konteks ini, adalah kerja bersama: laki-laki dan perempuan saling memberdayakan.
Sudah saatnya peringatan Hari Kartini tidak hanya berhenti pada kebaya dan lomba-lomba, tapi juga menyelami lebih dalam: siapa yang membentuknya, siapa yang menemaninya berpikir, dan bagaimana semangat itu bisa diturunkan di zaman sekarang—bahwa perempuan butuh ruang belajar, dan laki-laki harus jadi bagian dari perjuangan itu. Dalam diamnya, Sosrokartono memberi teladan: membesarkan bukan dengan memerintah, tapi dengan membuka pikiran.
Setelah perjalanan panjang di Eropa dan dunia internasional, Sosrokartono menyepi di Pati dan hidup sangat sederhana sebagai "dokter air putih" (karena ia mengobati orang dengan air dan doa). Ia menjauh dari politik dan panggung nasional. Ini membuat namanya luput dari sejarah yang lebih suka menyorot figur flamboyan atau heroik secara terang-terangan.
“Kartini dikenal karena suratnya menggugah, Sosrokartono justru tenggelam karena memilih diam.”
“Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana.”
Martabat seseorang diukur dari kata-katanya, bukan jabatannya. Sosrokartono mengajarkan bahwa emansipasi bukan soal banyak bicara, tapi seberapa besar kita memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh. Ia adalah Kartini, dalam wujud laki-laki.