You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Adiarsa
Desa Adiarsa

Kec. Kertanegara, Kab. Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah

ADIARSA MAJU

PIKIRAN YANG TERBENGKALAI

BAYU ROHANI 16 April 2025 Dibaca 16 Kali
PIKIRAN YANG TERBENGKALAI

Di dalam buku Atomic Habits, James Clear menulis sebuah kebenaran sederhana yang mengganggu:
“Apa yang memberi kita kepuasan instan sering membawa kita ke arah jangka panjang yang kita sesali. Dan apa yang memberi kita hasil jangka panjang seringkali terasa membosankan di awal.”
Kalimat itu terasa seperti pukulan pelan di kepala. Bukan karena sulit dipahami, tapi karena terlalu nyata.

Lihatlah lingkungan tempat kita hidup dan bekerja. Banyak keputusan diambil bukan karena tidak tahu mana yang benar, tapi karena yang benar butuh waktu, sedangkan hidup butuh makan hari ini. Kita hidup di zaman yang menuntut keputusan jangka panjang, tapi berada di lingkungan yang terus menekan untuk bertahan secara harian. Maka jangan heran kalau masih banyak yang memilih kesenangan instan. Tak semuanya karena tak cerdas, tapi karena ruang berpikir sudah habis dipakai untuk menahan beban hidup.
Apakah ini salah?
Mungkin tidak.
Apakah ini benar?
Belum tentu juga.
Mungkin zaman dulu wajar jika berpikir cukup untuk hari ini saja — karena dunia belum serumit sekarang. Tapi hari ini, realitas menuntut lebih dari sekadar insting bertahan. Ia menuntut olah pikir, proyeksi, perhitungan, dan kadang kesanggupan untuk menunda nikmat demi sesuatu yang lebih baik.

Tapi sering kali, justru di sinilah yang gagal kita lakukan. Banyak dari kita merasa sudah cukup lelah bekerja, padahal saat diperiksa, ada begitu banyak waktu luang yang hilang begitu saja — bukan untuk istirahat sungguhan, tapi untuk distraksi. Pikiran tak pernah benar-benar diolah, hanya dilewatkan. Akibatnya, bukan keputusan yang diambil, tapi sekadar reaksi. Bukan jalan yang dipilih, tapi hanya berpindah dari satu impuls ke impuls berikutnya. Kita menghindar dari kesunyian pikiran karena takut bertemu diri sendiri.

Sering kali, keputusan yang kita ambil bukanlah pilihan yang ideal, tetapi respons yang terpaksa diambil saat tekanan sehari-hari memaksa kita memilih jalan cepat—meskipun kita tahu itu bukan yang terbaik untuk jangka panjang.

Di tengah kabut antara moral dan kebutuhan, ada satu sosok dalam dunia pewayangan yang mungkin bisa kita dengar bisiknya — Semar.
Semar tidak pernah terlihat tergesa-gesa. Ia tidak tertarik pada kemenangan cepat, tapi pada keberlanjutan hidup. Saat para ksatria sibuk berperang demi harga diri atau takhta, Semar duduk di pojok, menyuapi anak-anak dan menyapu halaman.
Ia tahu, yang instan cepat habis, yang perlahan sering kali lebih awet.
Tapi Semar juga tahu, tidak semua orang seberuntung dirinya yang bisa berpikir jernih. Karena itu ia tidak pernah menghakimi. Ia hanya hadir, kadang diam, kadang tertawa, dan sesekali menepuk pundak tokoh utama yang terlalu serius mencari jawaban.

Maka, hari ini, ketika kita melihat keputusan-keputusan yang tampaknya keliru, mari kita tahan dulu penghakiman kita. Mungkin mereka hanya belum sempat berpikir jangka panjang, karena hidup mereka belum cukup tenang untuk itu.

“Sebab untuk membuat rencana besar, kita perlu perut yang kenyang, dan pikiran yang tidak terbakar tagihan.”
Semar pun kembali ke dapur, menyeduh secangkir teh rosella, sambil bergumam:
"Mari kita sruput teh rosella, biar yang pahit kita telan pelan-pelan."

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image